Literasi Perdamaian: Buku Suradi Jadi Sorotan di 20 Tahun MoU Helsinki

Perhimpunan Penulis Indonesia Alinea menggelar diskusi buku karya Suradi berjudul “Menegakkan Damai di Serambi Makkah: Menguak Proses UU Pemerintahan Aceh”. (Foto: Dok. Pribadi)

JAKARTA (04/08/2025), AMUNISI.CO.ID — Dalam rangka memperingati dua dekade penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), para penulis yang tergabung dalam Perhimpunan Penulis Indonesia Alinea menggelar diskusi buku karya Suradi berjudul “Menegakkan Damai di Serambi Makkah: Menguak Proses UU Pemerintahan Aceh”. Acara ini berlangsung Minggu kemarin (3/8/2025) di Taman Bacaan Masyarakat Bukit Duri Bercerita, Tebet, Jakarta Selatan—kediaman penulis sekaligus tuan rumah acara.

Diskusi tersebut merupakan bagian dari seri bulanan bertajuk “Titik Temu: Ruang Alinea Membincangkan Karya dan Dunia Kepenulisan”, yang kini memasuki edisi ketiga. Sebelumnya, Alinea telah membedah karya Nuri Soeharto dan buku Finding Kapiten Boodieman karya Dr. Priyambudi Sulistiyanto.

Suradi, penulis dan pegiat literasi yang juga pernah menempuh studi S2 Ilmu Komunikasi UI, menjelaskan bahwa buku ini berangkat dari tesisnya tentang strategi persuasi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA). “Tema MoU dan UUPA masih sangat relevan hari ini, mengingat DPR Aceh dan pemerintah sedang menyepakati revisi sejumlah pasal penting dalam UUPA,” kata Suradi.

Ia menyoroti dua tokoh sentral dalam proses perdamaian dan legislasi Aceh: Jusuf Kalla yang saat itu menjabat Wakil Presiden dan Ketua Umum Golkar, serta Ferry Mursyidan Baldan, Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU-PA. Keduanya dianggap berperan kunci dalam mendorong terciptanya konsensus lintas fraksi terhadap UU yang lahir dari semangat damai Helsinki.

“Dalam waktu yang relatif singkat, berbagai pasal krusial dalam RUU Pemerintahan Aceh berhasil disepakati tanpa voting—sebuah prestasi politik yang jarang terjadi,” ujar Suradi.

Buku ini dilengkapi lampiran teks asli MoU Helsinki dalam dua bahasa, serta transkrip wawancara dengan anggota Pansus, tokoh Aceh, dan pengamat politik seperti Dr. Fachry Ali. Tujuannya, menurut Suradi, agar pembaca yang tidak mengikuti langsung proses damai dan legislasi dapat memahami dinamika yang terjadi kala itu.

Revisi UUPA dan Urgensi Dana Otsus

Murizal Hamzah, penulis biografi Hasan Tiro yang juga memberi pengantar buku ini, hadir memberikan perspektif kritis. Menurutnya, UUPA yang disahkan pada 2006 sebagai turunan dari MoU Helsinki kini menghadapi tantangan baru. Salah satunya adalah kebutuhan revisi terkait mekanisme alokasi dan pengawasan Dana Otonomi Khusus (Otsus).

“Tahun ini kita memperingati 20 tahun damai Aceh. Tapi kita juga dihadapkan pada pertanyaan: sejauh mana dana Otsus telah efektif mendorong pembangunan Aceh? Buku ini hadir di saat yang tepat, untuk mengingatkan publik tentang asal-usul damai yang kita nikmati hari ini,” ujar Murizal.

Murizal menegaskan bahwa proses legislasi UUPA melibatkan banyak pihak: akademisi, masyarakat sipil, eks kombatan GAM, hingga pemerintah pusat. Namun tak semua jejak perjuangan tersebut tercatat dalam sejarah resmi.

“Buku ini merekam apa yang sering tak tertulis: tarik ulur, kompromi politik, dan pengorbanan personal. Ini bukan sekadar karya akademik, tetapi kesaksian sejarah,” tambahnya.

Literasi sebagai Instrumen Damai

Diskusi berlangsung hangat dengan kehadiran berbagai tokoh penulis Alinea seperti Kanti W Janis, Wien Muldian, Nuri Soeharto, Idrus F. Sahab, Kunia Effendi, Magdalena Sitorus, Deasy Tirayoh, Stebby Julionatan, Danny Yatim, hingga wartawan Sudrajat dari Detik.com.

Para peserta melontarkan beragam pertanyaan, mulai dari peran Martti Ahtisaari selaku mediator damai, alasan pemilihan Helsinki sebagai lokasi perundingan, hingga dampak keberlanjutan dari UUPA.

Menanggapi hal itu, Suradi menegaskan bahwa menulis adalah langkah awal dari kontribusi sosial. “Apakah tulisan harus berdampak? Tentu. Tapi dampak itu tak lahir sendirian. Ia butuh partisipasi kolektif. Yang penting, penulis harus menulis—karena tulisan yang dibaca banyak orang akan menemukan jalannya sendiri menuju perubahan,” pungkasnya. ***

Total Views: 252

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *